Perlahan, Tania menapakkan kakinya di lorong itu, pandangan matanya menelusuri rumah-rumah yang berderet satu demi satu. Lorong itu tak berubah, masih sama saat dia masih berusia remaja, masih sama seperti saat ditinggalkannya pindah bersama keluarganya ke ibu kota.
Bedanya, kalau dahulu jalanan yang di pijak hanya berupa tanah, sekarang sudah berubah sudah bersemen, sudah tersentuh perubahan jaman.
Bedanya, kalau dahulu jalanan yang di pijak hanya berupa tanah, sekarang sudah berubah sudah bersemen, sudah tersentuh perubahan jaman.
Rumah-rumah di sepanjang lorong,
juga tidak banyak berubah, bangunan beraksitektur kuno dengan joglo di
bagian depan, jendela-jendela berukuran besar, halaman rumah yang lapang
dengan berbagai tanaman.
Sampailah
dia di sebuah rumah sederhana, tepatnya rumah yang paling kecil dan
paling sederhana diantara deretan rumah joglo di lorong itu. Sejenak,
Tania berhenti, mengumpulkan keberaniannya melangkahkan kaki dan
tangannya menyentuh pintu rumah yang tak memiliki gerbang itu. Dadanya
berdegup kencang, saat aroma jahe bercampur gula yang dipanggang
menyentuh hidungnya, dihirupnya panjang aroma itu, seolah menghirup
seluruh masa lalunya, membawanya kembali ke masa-masa belasan tahun
silam.