Hari ini, tanggal 19 Februari 2015 bertepatan dengan Hari Raya Imlek, hari raya bagi bagi masyarakat Tiong Hoa, atau sering disebut dengan tahun barunya masyarakat Tiong Hoa.
Aku jadi teringat saat kecil, jika Hari Raya Imlek tiba, maka dirumahku akan banyak makanan, buah-buahan kiriman dari tetanggaku yang Tiong Hoa.
Makanan beraneka ragam seperti biskuit, permen, dan buah-buahan, juga tak ketinggalan kue keranjangnya, menghadirkan nuansa tersendiri, kegembiraan tersendiri, meskipun saat itu kami belum tahu artinya. Seingatku, didesa kami waktu itu disebut Bodo Cino artinya kurang lebih bodo = Ba'da = lafal Jawa untuk Lebaran, Cino = Cino. Pengucapan kata Bodo disini sama dengan pengucapan kata lara = sakit.
Biskuit, permen maupun buah-buahan hantaran itu, bagi kami masyarakat desa, adalah barang yang nyaris tak pernah terhidang di meja kami, karena harganya yang mahal dan untuk mendapatkannya harus pergi ke kota Semarang.
Hubungan antar tetangga di desa memang sangat cair, komunal dan hampir tidak mengenal sekat, sehingga saat Hari Raya Imlek, bisa dipastikan sebagian rumah masyarakat yang bukan Tiong Hoa akan penuh makanan enak.
Khusus kue keranjang, kadang-kadang sampai menumpuk dirumah kami, sehingga biasnya ibuku mengolahnya menjadi makanan lain.
Salah satu bentuk olahan kue dengan bahan kue keranjang kami beri nama utri, membuatnya sangat mudah namun rasanya enak.
Aku mencoba mengingat kembali makanan itu, maka yang harus disiapkan adalah
1. Daun pisang secukupnya untuk membungkus
2. Kue kranjang dipotong kecil-kecil sesuai selera
3. Santan kental yang sudah digarami
4. Daun pandan secukupnya
Cara membuatnya
1. Daun pisang dijemur dahulu atau dijerang sebentar di uap panas agar tidak mudah sobek.
1. Masukkan kue keranjang yang sudah dipotong ke dalam daun
2. Siramkan santan kental dan letakkan beberapa potong daun pandan
3. Bungkus dengan rapi, dan ditusuk dengan potongan lidi ( bahasa jawa: biting )
4. Masukkan kedalam dandang pengukus saat air sudah mendidih
5. Dikukus sekitar 30 menit,.
6. Setelah matang, angkat dan sajikan.
Rasanya agak mirip mendut, hanya kalau mendut berbentuk bulat dan ada isinya, kalau kue keranjang tanpa isi. Rasanya yang manis menjadi legit karena menjadi lunak dan bercampur dengan rasa santannya yang gurih.
Setelah beberapa puluh tahun, setiap hari raya Imlek tiba, aku merindukan membuat kue dari kue keranjang tersebut.
Pernah mencoba membeli kue keranjang dan membuat, rasanya beda dengan yang dibuat oleh ibuku dahulu, mungkin waktu itu teras aenak, karena kuenya tidak membeli, alias hantaran alias gratis, hehehe.
Kue kenangan itu sekarang jarang aku nikmati, karena tak pernah secara khusus membeli kue keranjang.
Saat dewasa, aku mulai memahami bahwa itulah bentuk kerukunan dan toleransi beragama yang sesungguhnya, satu sama lain saling menyayangi tanpa melihat batas dan sekat.
buah-buah khas Imlek
Berbagi kebaikan kepada tetangga akan menghadirkan energi positif di yang selalu terpantul dan memantulkan kebaikan kembali.
Karena saat lebaran tiba, maka gantian kami yang berkirim makanan yang kami masak, untuk mereka, betapa indahnya sebuah kerukunan.
Saat itu, kami yang masih anak-anak merasa senang bukan hanya karena ada kiriman makanan enak, tetapi ada rasa senang, dan rasa berarti, rasa ikut merasakan kegembiraan mereka.
Aku jadi teringat saat kecil, jika Hari Raya Imlek tiba, maka dirumahku akan banyak makanan, buah-buahan kiriman dari tetanggaku yang Tiong Hoa.
Makanan beraneka ragam seperti biskuit, permen, dan buah-buahan, juga tak ketinggalan kue keranjangnya, menghadirkan nuansa tersendiri, kegembiraan tersendiri, meskipun saat itu kami belum tahu artinya. Seingatku, didesa kami waktu itu disebut Bodo Cino artinya kurang lebih bodo = Ba'da = lafal Jawa untuk Lebaran, Cino = Cino. Pengucapan kata Bodo disini sama dengan pengucapan kata lara = sakit.
Biskuit, permen maupun buah-buahan hantaran itu, bagi kami masyarakat desa, adalah barang yang nyaris tak pernah terhidang di meja kami, karena harganya yang mahal dan untuk mendapatkannya harus pergi ke kota Semarang.
Hubungan antar tetangga di desa memang sangat cair, komunal dan hampir tidak mengenal sekat, sehingga saat Hari Raya Imlek, bisa dipastikan sebagian rumah masyarakat yang bukan Tiong Hoa akan penuh makanan enak.
Khusus kue keranjang, kadang-kadang sampai menumpuk dirumah kami, sehingga biasnya ibuku mengolahnya menjadi makanan lain.
Salah satu bentuk olahan kue dengan bahan kue keranjang kami beri nama utri, membuatnya sangat mudah namun rasanya enak.
Aku mencoba mengingat kembali makanan itu, maka yang harus disiapkan adalah
1. Daun pisang secukupnya untuk membungkus
2. Kue kranjang dipotong kecil-kecil sesuai selera
3. Santan kental yang sudah digarami
4. Daun pandan secukupnya
Cara membuatnya
1. Daun pisang dijemur dahulu atau dijerang sebentar di uap panas agar tidak mudah sobek.
1. Masukkan kue keranjang yang sudah dipotong ke dalam daun
2. Siramkan santan kental dan letakkan beberapa potong daun pandan
3. Bungkus dengan rapi, dan ditusuk dengan potongan lidi ( bahasa jawa: biting )
4. Masukkan kedalam dandang pengukus saat air sudah mendidih
5. Dikukus sekitar 30 menit,.
6. Setelah matang, angkat dan sajikan.
Rasanya agak mirip mendut, hanya kalau mendut berbentuk bulat dan ada isinya, kalau kue keranjang tanpa isi. Rasanya yang manis menjadi legit karena menjadi lunak dan bercampur dengan rasa santannya yang gurih.
Setelah beberapa puluh tahun, setiap hari raya Imlek tiba, aku merindukan membuat kue dari kue keranjang tersebut.
Pernah mencoba membeli kue keranjang dan membuat, rasanya beda dengan yang dibuat oleh ibuku dahulu, mungkin waktu itu teras aenak, karena kuenya tidak membeli, alias hantaran alias gratis, hehehe.
Kue kenangan itu sekarang jarang aku nikmati, karena tak pernah secara khusus membeli kue keranjang.
Saat dewasa, aku mulai memahami bahwa itulah bentuk kerukunan dan toleransi beragama yang sesungguhnya, satu sama lain saling menyayangi tanpa melihat batas dan sekat.
buah-buah khas Imlek
Berbagi kebaikan kepada tetangga akan menghadirkan energi positif di yang selalu terpantul dan memantulkan kebaikan kembali.
Karena saat lebaran tiba, maka gantian kami yang berkirim makanan yang kami masak, untuk mereka, betapa indahnya sebuah kerukunan.
Saat itu, kami yang masih anak-anak merasa senang bukan hanya karena ada kiriman makanan enak, tetapi ada rasa senang, dan rasa berarti, rasa ikut merasakan kegembiraan mereka.
gong xi fa cai
BalasHapussaya gak tau suasana imlek jepara, hujan je males ke kota hihih
BalasHapusDulu di rumah kami juga suka mengkreasi kue keranjang, tapi lama kelamaan jadi jarang, dan ga tau kok sayanya juga bosan -- mungkin kurang eksperimen resep untuk mengolah kue keranjang lagi ya, saya belum pernah coba yang dikasi santan ini, biasanya digoreng aja hihihi... Coba nanti saya praktekkan ya resepnya mak, makasih ^^
BalasHapusJd inget mei mei mak
BalasHapuskaya jenang kah mak rasanya kue keranjang?
BalasHapusWaahh belum pernah nyoba yg dibungkus daun pisang dan diberi santan, tampaknya enak. Jadi pengeeen
BalasHapuskotanya mana tuh? kok ada orang tinghoanya? andaikan saya bertetangga sama orang tinghoa yang baik pasti suatu hal istimewa ya hahaha
BalasHapusKue keranjang dan jeruk adalah cemilan imlek yang aku suka :D
BalasHapusPas imlek kemarin, istriku bawa kue keranjang dari kantornya... trus digoreng pake tepung... enak....
BalasHapusKalau Ibuku dulu kue kerangnjang sukanya digoreng pakai telur dan sedikit tepung
BalasHapuskalo kue keranjang, di rumah saya kemaren numpuk mbak :)
BalasHapuskebetulan, ada keluarga yang merayakannya
sama kayak waktu natal kemaren, pun banyak nastar dll...
Kue keranjang itu bisa dibuat bermacam-macam penganan ya Mba :)
BalasHapusRasanya juga tiada duanya ....
wow... kue keranjanganya unik kak ^^ kapan hari mau coba :D
BalasHapus