Mengingat kembali berbagai kisah bersama ibu,
bisa menjadi hal yang mudah karena semua kisah bersama ibuku semuanya indah,
semuanya mengesankan. Tetapi menuliskannya kembali menjadi tidak mudah karena
akan mendatangkan kembali kerinduan kepada ibunda yang sekarang sudah berada di
haribaan Tuhan Pemilik Semesta.
Aku lahir ditengah-tengah orang tua yang gemar melakukan
aktifitas sosial, baik ayahku maupun ibuku. Ibuku sebenarnya seorang ibu rumah
tangga yang tidak memiliki aktifitas formal selain mengerjakan kegiatannya
sebagai ibu rumah tangga. Namun bukan berarti ibuku setiap saat selalu berada
di rumah, ada kalanya beliau melakukan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan.
Di lingkungan yang terdekat seperti RT, Kelurahan hingga
Kecamatan, ibuku banyak melakukan kegiatan sosial, beliau sering diundang
sebagai penceramah baik pengajian ataupun penyuluhan secara sukarela. Dalam
berbagai aktifitas sosialnya, tak jarang ibuku harus ke desa-desa di lereng
pegunungan, yang letaknya sangat jauh dari desa yang kami tinggali.
Ketika
usiaku masih balita, hingga menjelang tujuh tahun, ibuku sering mengajakku
pergi saat beliau melakukan aktifitas sosialnya tersebut. Aku diajak karena
waktu itu dirumah sering tidak ada orang, sebab ayahku juga jarang di rumah dan
tidak ada pembantu yang bisa mengasuh kami. Kebiasaan jaman dulu dengan
menitipkan anak pada tetangga atau pada kerabat, sama sekali tidak pernah
dilakukan oleh ibuku. Ibuku lebih suka membawa aku dan adikku bersamanya selama
beliau melakukan aktifitas diluar rumah..
Seperti waktu itu, usiaku enam tahun dan adik perempuanku
yang usianya hanya selisih enambelas bulan denganku, diajak ibu pergi ke sebuah
desa di lereng pegunungan dengan jarak yang harus ditempuh sekitar enam
kilometer. Kami tinggal di desa kecil dan pada tahun tujuhpuluhan sama sekali belum ada
transportasi apapun, sehingga jarak sejauh itu harus ditempuh dengan berjalan
kaki.
Aku masih sangat
ingat, saat itu bulan Ramadhan, kami berangkat menjelang siang hari . Pada awal
perjalanan, aku dan adikku digandeng ibuku, melewati jalanan yang masih
berbatu-batu, jalan tanah berdebu. Kadang-kadang
kami harus berjalan melewati tanjakan atau jalan menurun . Mengenakan kain dan
kebaya, berkerudung dan membawa tas dipundaknya, beliau dengan sabar berjalan
pelan-pelan menuntun kami disisi kanan
dan kiri, sambil mendongeng. Baru berjalan sekitar satu kilometer, adikku sudah
merengek kelelahan, minta digendong, dan dengan tersenyum lebar, ibuku
menurutinya dengan menggendong adikku
dipunggung beliau, sedangkan sebelah tangannya menggandengku.
Tidak hanya sekali kaki ibuku terpeleset debu yang kering
saat sampai di jalan yang menanjak atau turunan yang agak curam. Namun tidak
sekalipun kudengan keluhan atau suara mengaduh dari mulud ibuku, selain tertawa
kecil seperti mentertawakan kakinya, dan masih sambil mendongeng. Sangat
mungkin, ibuku saat itu juga lelah, karena dalam kondisi berpuasa, menggendong
adikku yang sudah berusia menjelang lima tahun dan menempuh jalan yang tidak
mudah. Namun cintanya yang begitu besar pada kami, anak-anaknya, membuatnya mampu menghilangkan rasa letih, bahkan melipur hati
kami dengan tetap mendongeng sepanjang perjalanan Untuk mengurangi rasa letih, sesekali kami
berhenti untuk beristirahat dan saat itu adikkupun akan turun dari punggung
ibuku, sambil ibuku melepaskan letihnya, kamipun bisa membuka minuman yang kami
bawa dari rumah.
Dengan pemikiran anak-anak waktu itu, aku meminta adikku
turun dari punggung ibuku dan berjalan kaki saja karena kasihan ibuku sedang
puasa. Tetapi ibuku malah mengatakan
bahwa adikku masih kecil jadi biar saja tetap digendong dipunggungnya. Dalam perjalanan itu kami harus melewati
sebuah jembatan bambu yang dibawahnya mengalir sungai. Meskipun sungai itu
tidak besar dan juga sungai dangkal, namun aku dan adikku waktu itu tetap saja tidak
berani untuk berjalan diatas jembatan bambu
itu karena jembatan itu akan bergerak-gerak ketika dilewati orang. Bukan hanya
adikku, akupun minta digendong ibuku saat melewati jembatan itu. Karena tidak
mungkin untuk menggendong dua anak sekaligus, maka kamipun digendong
bergantian.
Masih sangat jelas teringat hingga saat ini, bagaimana sulitnya
ibuku yang mengenakan kain kebaya, harus
menggendong dengan satu tangan dan satu tangan lagi harus berpegangan pada tiang bambu, berjalan
perlahan melintasi jembatan. Adikku digendong terlebih dahulu menyeberangi
jembatan, dan diminta menunggu diseberang, lalu ibuku kembali ke tempat aku
menunggu dan menggendongku menyeberang. Masih terasa sampai saat ini, betapa
waktu itu merasa hangat dan benar-benar merasa aman terlindungi oleh pelukan
kuat dalam gendongan ibuku, rasa takut melihat sungai dibawah jembatan hilang entah
kemana. Sebenarnya ada beberapa pejalan kaki yang melintasi jembatan itu, menawarkan
diri untuk menggendong salah satu dari kami, agar beban ibuku lebih ringan,
namun baik aku maupun adikku waktu itu tidak mau digendong oleh orang selain
ibuku.
Kalau
diingat sekarang, betapa kami sangat merepotkan waktu itu, namun sungguh tak
ada raut kesal, ucapan marah, kesal dan yang laiinya. Begitu juga saat kami
pulang dari desa, mengulang perjalanan yang sama dengan cerita yang sama, hanya
pulangnya adikku sudah tidak minta digendong lagi, selain saat melintasi
jembatan.
Masih
kuingat saat kami tiba dirumah kembali di sore hari, ibu menceritakan pada
ayahku tentang perjalanan kami.
Lagi-lagi, sambil tertawa ibu menceritakan bagaimana adikku yang minta
digendong, kami yang digendong bergantian saat melewati jembatan.
Ternyata hati ibu penuh dengan cinta, cinta itulah yang mengalahkan segala lelah, sehingga saat harus menempuih perjalanan yang sulit dan harus menggendong anak-anaknya, beliau tetap saja penuh tenaga, penuh gairah untuk melindungi dan membuat anaknya merasa aman dan nyaman.
Ternyata hati ibu penuh dengan cinta, cinta itulah yang mengalahkan segala lelah, sehingga saat harus menempuih perjalanan yang sulit dan harus menggendong anak-anaknya, beliau tetap saja penuh tenaga, penuh gairah untuk melindungi dan membuat anaknya merasa aman dan nyaman.
Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
BalasHapusSegera didaftar
Salam hangat dari Surabaya
Sahabat tercinta,
BalasHapusSaya mengucapkan terima kasih kepada para sahabat yang telah mengikuti Kontes Unggulan Hati Ibu Seluas Samudera di BlogCamp. Setelah membaca artikel peserta saya bermaksud menerbitkan seluruh artikel peserta menjadi buku.
Untuk melengkapi naskah buku tersebut saya mohon bantuan sahabat untuk mengirimkan profil Anda dalam bentuk narasi satu paragraf saja. Profil dapat dikirim melalui inbox di Facebook saya atau via email.
Jangan lupa cek email ya, ada berita penting
Terima kasih.